Kebijakan EUDR Mulai Berlaku Akhir 2025, Ekspor Komoditas Indonesia Terancam

Kehutanan 30 Okt 2025 486 kali dibaca
Gambar Artikel

LingkariNewsMelalui Regulation (EU) 2023/1115, Parlemen Eropa mengesahkan kebijakan tentang European Union Regulation on Deforestation-Free Products (EUDR). Melalui kebijakan ini, Parlemen Eropa ingin memastikan bahwa setiap produk yang beredar dan dikonsumsi di wilayahnya tidak berkontribusi terhadap deforestasi maupun degradasi hutan.

Terdapat tujuh komoditas yang menjadi fokus utama kebijakan EUDR, yakni minyak sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai, dan ternak. Ketujuhnya dikategorikan sebagai komoditas berisiko tinggi karena memiliki keterkaitan langsung dengan pembukaan lahan dan perubahan penggunaan hutan di negara tropis.

Regulasi ini mulai berlaku pada 30 Desember 2025 bagi perusahaan besar, sedangkan bagi pelaku usaha kecil dan menengah akan diberlakukan mulai 30 Juni 2026.

Isi dan Ketentuan Kebijakan EUDR

Kebijakan EUDR menetapkan empat ketentuan utama yang wajib dipatuhi oleh negara eksportir ke pasar Uni Eropa. Pertama, hanya komoditas yang terbukti ditanam atau dikembangkan di lahan bebas deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020 yang dapat masuk ke pasar Uni Eropa. Artinya, setiap produk yang berasal dari lahan hasil pembukaan hutan setelah waktu yang ditentukan, baik secara legal maupun ilegal, otomatis akan ditolak.

Kedua, kebijakan EUDR mengharuskan pengetatan uji tuntas (due diligence) terhadap operator dan pedagang dari tujuh komoditas. Setiap pelaku usaha harus mampu membuktikan asal-usul komoditas secara rinci, termasuk bukti bahwa proses produksinya tidak menimbulkan kerusakan hutan.

Ketiga, regulasi ini mewajibkan penggunaan sistem koordinat geografis (geolocation) untuk menelusuri lokasi pasti sumber bahan baku. Mekanisme ini memungkinkan otoritas Uni Eropa memverifikasi keabsahan area tanam dengan citra satelit.

Keempat, kebijakan EUDR memperkenalkan sistem benchmarking bagi negara eksportir. Kategori risiko deforestasi dibagi menjadi tiga tingkat: rendah, standar, dan tinggi. Empat negara masuk kategori risiko tinggi, yaitu Belarus, Rusia, Korea Utara, dan Myanmar. Sementara itu, sebagai negara eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia Indonesia diklasifikasikan dalam risiko standar, bersama Malaysia dan Brasil. Sedangkan 27 negara Uni Eropa, China, dan Amerika Serikat masuk risiko rendah. Impor dari negara berisiko rendah akan mendapat pengecualian dalam proses pemeriksaan dan pelacakan barang.

Dampak Kebijakan Terhadap Indonesia

Selama ini, pasar uni eropa jadi salah satu target ekspor Indonesia untuk lima dari tujuh komoditas terdampak. Kelima komoditas tersebut adalah minyak sawit, kakao, karet, kopi, dan kayu. Dengan adanya kebijakan EUDR, volume ekspor kelima komoditas tersebut berpotensi mengalami penurunan. Terlebih, kebijakan ini mencakup seluruh komoditas hulu hingga produk hilir.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai bahwa kebijakan EUDR akan memberikan dampak besar bagi industri sawit nasional. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Meski Uni Eropa bukan pasar utama, kebijakan ini tetap menimbulkan efek negatif bagi industri sawit dalam negeri.

Peneliti dari Universitas dan Riset Wageningen Belanda, Iris Eukema, menjelaskan bahwa rantai pasok industri agrikultur Indonesia yang panjang dan kompleks membuat penerapan prinsip ketertelusuran semakin sulit. Eukema juga menjelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi membatasi akses petani kecil terhadap pasar ekspor. Dari sekitar 2,6 juta petani sawit di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki sertifikat lahan digital. Padahal sertifikasi ini merupakan salah satu syarat utama EUDR. Selain itu, keterbatasan literasi teknologi, sulitnya akses terhadap data geolokasi, dan lemahnya kepemilikan lahan resmi memperburuk posisi tawar petani kecil di rantai pasok global.

“Ini tantangan besar yang dihadapi Indonesia, terutama petani kecil yang belum memiliki hak atas tanah resmi, belum tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan kesulitan memenuhi persyaratan geolokasi,” tegasnya.

Refleksi dan Peluang Menuju Tata Kelola yang Lebih Berkelanjutan

Meskipun kebijakan EUDR berpotensi menekan ekspor, regulasi ini juga membuka peluang untuk memperkuat agenda keberlanjutan dan tata kelola komoditas di Indonesia. Selama ini, sektor berbasis lahan seperti sawit, kayu, dan kakao sarat konflik lahan, kolusi bisnis-politik, serta praktik yang merugikan masyarakat adat. Kasus pembukaan hutan di Papua untuk kawasan pangan nasional menjadi contoh nyata dari permasalahan ini.

Dengan adanya kebijakan EUDR, tekanan global dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak lagi mengorbankan kelestarian lingkungan maupun keadilan sosial.

(KP/NY)