LingkariNews—Kementerian Perindustrian memastikan bahwa Jawa Timur akan menjadi pusat produksi etanol nasional. Penetapan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam menyiapkan implementasi kebijakan bahan bakar campuran bioetanol wajib 10 persen (E10) yang ditargetkan mulai berlaku pada 2027.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyebut Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui kebijakan E10. Kebijakan tersebut ditujukan untuk menekan emisi karbon dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar impor. Selama ini, kebutuhan energi nasional masih bergantung pada minyak mentah luar negeri, sementara potensi sumber energi terbarukan domestik belum dimanfaatkan secara maksimal.
Produksi Etanol Akan Mengandalkan Pasokan Dalam Negeri
Bahlil menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan etanol nasional untuk mendukung penerapan bahan bakar E10 akan sepenuhnya mengandalkan produksi dalam negeri. Pemerintah memastikan tidak akan membuka keran impor etanol. Berdasarkan proyeksi Kementerian ESDM, implementasi E10 akan membutuhkan sekitar 1,4 juta kiloliter etanol per tahun.
Dipilihnya Jawa Timur sebagai pusat produksi etanol nasional bukan tanpa alasan. Jawa Timur memiliki 32 pabrik gula aktif yang menghasilkan molase dalam jumlah besar. Molase yang merupakan produk sampingan dari pengolahan tebu, merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan bioetanol. Potensi inilah yang menjadikan Jawa Timur paling strategis dibandingkan wilayah lain. “Lokasi yang paling menjanjikan adalah Jawa Timur karena produksi molase-nya yang tinggi,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Agroindustri, Putu Juli Ardika.
Kementerian Perindustrian juga sempat meninjau beberapa lokasi alternatif. Merauke menjadi salah satu wilayah yang masuk dalam pembahasan untuk pengembangan pabrik etanol tahap berikutnya. Namun, rencana tersebut akan direalisasikan setelah program swasembada gula di kawasan itu mencapai hasil yang memada.
Pemerintah juga sedang menyiapkan strategi diversifikasi bahan baku untuk memperkuat kapasitas produksi nasional. Sejumlah pabrik baru akan dibangun untuk memproduksi etanol berbasis singkong, jagung, dan tebu. Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengkaji potensi bahan baku dari sagu sebagai sumber baru produksi bioetanol di masa depan.
Pemerintah Siapkan Dana Rp1,6 Triliun
Untuk mendukung pengembangan produksi etanol, pemerintah telah menyiapkan dana sebesar Rp1,6 triliun atau sekitar US$93 juta. Anggaran ini dialokasikan untuk program pemindahan ratun, yakni upaya meremajakan tanaman tebu yang sudah tidak produktif. Program ini menargetkan peremajaan 100.000 hektar lahan tebu, di mana sekitar 70.000 hektar di antaranya berlokasi di Jawa Timur.
Pemerintah juga tengah menyiapkan rantai pasok bahan baku secara menyeluruh, mulai dari penanaman hingga mekanisme distribusi. Bahlil menyampaikan bahwa kebutuhan bahan baku seperti singkong, jagung, dan tebu sedang dalam tahap penanaman sebelum nanti bisa diproses di pabrik etanol. Ia memperkirakan, proses persiapan ini akan memerlukan waktu sekitar 1,5 hingga 2 tahun.
Untuk mempercepat pengembangan industri, pemerintah menggandeng Brasil dalam kerja sama teknis. Brasil dipilih karena pengalamannya sebagai salah satu produsen etanol terbesar di dunia, sekaligus menjadi rujukan dalam pengelolaan industri bioenergi.
Bahlil jugamenyebut, peluang investasi dari pihak Brasil sangat terbuka. “Kemarin, saat penandatanganan MoU, kami berdiskusi, dan ada kemungkinan besar keterlibatan investor Brasil,” ujarnya. Pemerintah berharap kerja sama ini dapat memperkuat ekosistem produksi etanol nasional dari sisi teknologi, investasi, hingga pengelolaan bahan baku.
Produksi Etanol Tak Ganggu Produksi Gula
Kementerian ESDM memastikan kebijakan bahan bakar E10 tidak akan mengganggu produksi gula nasional. Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE, Edi Wibowo, menjelaskan bahwa produksi etanol hanya akan memanfaatkan molase, yaitu produk sampingan dari pengolahan tebu. Menurutnya, proses pembuatan E10 tidak mengurangi hasil gula karena bahan baku utama tetap digunakan sebagaimana mestinya.
“Molase itu produk samping dari gula, gulanya tetap diproduksi, sedangkan molasenya diolah untuk produksi etanol,” ujar Edi.
GAPGINDO Sambut Positif Rencana Pusat Etanol di Jawa Timur
Rencana pemerintah menempatkan Jawa Timur sebagai pusat industri etanol dengan jaminan 100 persen pasokan bahan baku dari dalam negeri disambut baik dan penuh antusias oleh Ketua Umum Gabungan Produsen Gula Indonesia (GAPGINDO), Syukur Iwantoro.
Menurut Syukur, dengan tumbuh dan berkembangnya industri etanol di Jawa Timur pada khususnya serta Pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya menjadi penopang kebijakan E10, kepastian pasar molase akan semakin terjamin. Harga molase pun diharapkan menjadi lebih rasional, baik bagi petani atau pabrik gula sebagai pemasok, maupun bagi industri etanol sebagai pengguna.
Pendapatan petani pun diperkirakan akan meningkat, karena mereka tidak hanya bergantung pada hasil gula, tetapi juga memeroleh tambahan pendapatan dari penjualan molase.
Dampak positif di sektor hulu pun diharapkan terlihat. para petani akan semakin antusias memperluas dan merawat tanaman tebunya. Produktivitas tebu dan rendemen gula diproyeksikan meningkat, investasi pabrik gula berbasi tebu semakin bergairah, dan pada akhirnya efisiensi di tingkat on farm maupun off farm akan mendekati tingkat optimal sebagaimana telah dicapai oleh negara-negara produsen gula utama lainnya.
Syukur menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan semakin mendukung tercapainya dua program nasional sekaligus, yaitu swasembada gula dan kemandirian energi terbarukan.
(KP/NY)