Otoritas Bea Cukai China Larang Impor Produk Berbasis Gula dari Thailand

Gula 15 Nov 2025 117 kali dibaca
Gambar Artikel Sirup sebagai salah satu produk berbasis gula

LingkariNews—Otoritas Bea Cukai China (GACC) memperluas penangguhan terhadap produk sirup dan gula olahan Thailand menjadi larangan impor penuh mulai 27 Oktober 2025. Keputusan itu diambil setelah GACC melakukan rangkaian inspeksi pabrik yang dilakukan selama Juli hingga September. Dalam insepksi tersebut, sepuluh pabrik gagal memenuhi standar keamanan dan kebersihan terbaru. GACC juga menemukan ketidakpatuhan serius terhadap persyaratan keamanan pangan serta pengendalian produksi.

Adapun empat produk yang dilarang masuk ke China dalam kebijakan ini mencakup seluruh jenis sirup, campuran gula, dan olahan terkait. GACC juga membekukan seluruh aplikasi pendaftaran baru dari produsen Thailand. Dengan langkah ini, China secara efektif memblokir jalur impor untuk semua kategori produk gula Thailand. Kebijakan ini memperluas larangan sebelumnya yang hanya menangguhkan produk dengan kode bea cukai 170290110 (sirup) dan 1702901200 (bubuk gula premix) pada Desember 2024.

Industri Gula Thailand Tertekan

Kebijakan larangan impor produk sirup dan gula olahan memicu kekhawatiran besar di sektor gula Thailand. Dengan larangan ini, eksportir Thailand tidak lagi dapat mengirimkan sirup atau produk premix ke China. Sontak, mereka hanya dapat mengekspor gula mentah, itupun dalam jumlah yang terbatas. Hal ini membuat ruang gerak industri gula Thailand semakin sempit.

Padahal, China merupakan pasar ekspor utama bagi produk sirup dan gula olahan Thailand dengan total pasokan mencapai sekitar 3,6 juta ton per tahun. Dengan larangan impor tersebut, industri gula Thailand berpotensi menanggung kerugian hingga miliaran baht. “Penutupan semua jalur ekspor ini akan merugikan industri miliaran baht,” ujar Presiden Asosiasi Produk Gula Thailand, Todsaporn Ruangpattananont.

Selain kerugian finansial, Todsaporn juga menyoroti ancaman sosial ekonomi yang lebih luas. Ia menyatakan kebijakan ini berpotensi memicu penutupan massal dan gelombang PHK di seluruh sektor gula olahan Thailand. Saat ini, ada sekitar 47 perusahaan anggota asosiasi berada dalam posisi rentan.

Dampak larangan impor tersebut juga dirasakan petani tebu. Penurunan ekspor membuat harga gula Thailand jatuh dan memicu tekanan finansial yang semakin berat bagi kelompok petani di seluruh wilayah produksi.

Sebagai respon, produsen sirup dan gula premix Thailand mulai mencari pasar alternatif. Namun, Todsaporn memprediksi upaya itu tidak akan mudah. “Jika larangan ini berlanjut, hanya tiga hingga lima pabrik yang diperkirakan tetap beroperasi pada akhir tahun karena menemukan pasar alternatif untuk menggantikan China terbukti sangat sulit,” ujarnya.

Thailand Rencanakan Negosiasi Ulang

Menanggapi keputusan GACC ini, Todsaporn mengungkap bahwa banyak pelaku industri kecewa. Pasalnya, mereka telah menginvestasikan puluhan juta baht untuk meningkatkan fasilitas ruang sterilisasi, zona produksi, dan fasilitas ruang bersih. Para pelaku industri gula Thailand menilai, alasan GACC yang memperluas larangan impor atas dasar ketiadaan otoritas pengawas tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Selama ini, Thailand sudah memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan Thailand (FDA), serta Biro Nasional Standar Pangan dan Komoditas Pertanian (ACFS) yang selama ini bertanggung jawab terhadap pengawasan mutu dan keamanan produk.

Sebagai langkah lanjutan, Todsaporn mendesak Kementerian Perdagangan Thailand untuk melakukan negosiasi lebih lanjut dengan otoritas China. Ia menegaskan ada tiga tuntutan utama yang perlu segera disampaikan. Pertama, mengizinkan pengiriman barang yang kini tertahan di pelabuhan. Kedua, memberi izin ekspor untuk produk jadi yang masih tersimpan di gudang. Ketiga, menunjuk ACFS sebagai lembaga resmi yang memantau dan mensertifikasi kualitas pabrik guna memenuhi standar setelah diberlakukannya larangan impor tersebut.

(KP/NY)