Satu Dekade Impor Gula Indonesia: Tren, Tantangan, dan Arah Kebijakan Swasembada

Gula 08 Nov 2025 268 kali dibaca
Gambar Artikel

LingkariNews—Indonesia merupakan negara importir gula terbesar di dunia. Sejak tahun 2016 hingga 2024, volume impor gula nasional berada di kisaran 3,9 hingga 5,3 juta ton per tahun. Hal ini terjadi karena produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan industri yang terus meningkat. 

Tren Impor Gula Indonesia dalam 10 Tahun Terakhir

Impor gula Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2016 dengan volume yang mencapai 5,3 juta ton. Pemerintah sempat menekan angka tersebut ke kisaran 4 juta ton pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan pada 2019, volume impor turun hingga 3,9 juta ton. 

Namun, tren itu tidak bertahan lama. Pada 2022, volume impor kembali melonjak menjadi 5,03 juta ton. Hal ini disebabkan karena kebutuhan industri makanan dan minuman yang meningkat, sementara produksi dalam negeri terpukul oleh cuaca ekstrem yang mengganggu hasil panen tebu.

Setahun kemudian, volume impor turun menjadi 4,22 juta ton, tetapi kembali naik ke 5,31 juta ton pada 2024. Fluktuasi ini menandakan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada pasokan gula dari luar negeri, baik dalam bentuk raw sugar untuk rafinasi maupun gula putih konsumsi. 

Sebagian besar gula impor digunakan untuk industri rafinasi, dengan porsi mencapai sekitar 70–75% dari total alokasi setiap tahun. Sementara itu, impor untuk konsumsi rumah tangga dan industri MSG jauh lebih kecil. Pola ini memperlihatkan bahwa kebijakan impor gula saat ini lebih banyak diarahkan untuk menjaga pasokan industri besar ketimbang memperkuat ketersediaan gula bagi masyarakat.

Pemerintah Pangkas Kuota Impor Gula Pada 2025

Pemerintah menurunkan alokasi impor gula pada 2025 melalui Perpres No. 40/2023 tentang Percepatan Swasembada Gula. Kuota raw sugar untuk 11 pabrik rafinasi dipangkas dari 3,6 juta ton pada 2024 menjadi 3,4 juta ton tahun ini. Sementara itu, kuota gula konsumsi dipotong tajam dari 600 ribu ton menjadi hanya 200 ribu ton per tahun.

Hingga September 2025, realisasi impor tercatat sebesar 2,93 juta ton. Angka tersebut menunjukkan kondisi yang relatif lebih terkendali dibandingkan tren impor beberapa tahun sebelumnya. 

Masalah Tata Kelola Impor Gula Indonesia

Di tengah upaya pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap gula impor demi swasembada gula 2028, muncul kasus yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan dan sembilan perusahaan penerima izin impor gula. Ada indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam proses pemberian izin impor pada periode sebelumnya. Skandal ini memunculkan pertanyaan tentang seberapa transparan dan akuntabel tata kelola impor selama ini.

Salah satu dampak yang dirasakan adalah turunnya kredibilitas tata kelola impor nasional. Selama ini, data impor gula sering kali berbeda antara lembaga seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Asosiasi Gula Indonesia (AGI), dan analis pasar. Hal ini menimbulkan kerancuan dan spekulasi publik. Kasus hukum yang terungkap memperkuat dugaan bahwa alokasi impor tidak dilakukan secara terbuka dan adil. 

Kasus ini turut mengguncang pasar domestik. Sentimen negatif yang muncul semakin memperburuk kondisi pasar gula yang sudah rapuh. Harga gula petani turun, lelang tidak laku, dan gula rafinasi yang seharusnya untuk industri justru merembes ke pasar konsumsi rumah tangga.

Selain itu, kebijakan menuju swasembada gula terancam terhambat. Tanpa perbaikan tata kelola impor gula dan pengawasan ketat, target pengurangan impor sulit tercapai. Dampaknya dirasakan langsung oleh petani tebu. Saat harga gula lokal jatuh dan impor terus membanjiri pasar, insentif petani untuk menanam tebu melemah. Akibatnya, stok gula dalam negeri semakin menumpuk.

(KP/NY)